Langsung ke konten utama

Polemik Laki-Laki & Perempuan

 


Kapitalisme yang disponsori oleh Neoliberalisme membuat rakyat harus banting-tulang memenuhi kebutuhan yang seharusnya difasilitasi oleh publik. Sebut saja sekolah/pendidikan, kesehatan, dan akses-akses lainnya. Ditambah lagi tingginya pajak (yang dijadikan simbol pertumbuhan ekonomi) membuat kebutuhan pokok sehari-hari semakin mencekik. Tidak sebanding dengan kenaikan pajak-pajak itu, yang ternyata hanyalah angka tanpa kontribusi yang berarti kepada pembangunan, kecuali pembangunan orang-orang yang sudah kaya agar semakin kaya.

Imbasnya apa? Harga rumah mahal. Harga makanan sehari-hari pun mahal. Tanpa membawa-bawa tendensi sebagian dari kita yang lebih suka barang-barang branded, bahkan ketika kita tidak neko-neko pun yang penting bisa 'bertahan hidup' saja, itu sudah menjadi sesuatu yang berat.

Tak terkecuali kehidupan suami-istri yang penuh dengan huru-hara terkait ekonomi.

Saya yakin patriarki itu ada, tapi saya tidak melihat keluarga saya dominan dalam patriarki, bahkan mungkin bisa dibilang sebaliknya. Ketika seluruh dunia bilang perempuan ditindas laki-laki, saya rasa orang-orang di sekeliling saya perempuannya yang lebih banyak menindas... (Sayangnya, tak terkecuali diri saya sendiri, dan saya sedang berusaha mengubah itu).

Kalimat-kalimat seperti, "Kamu miskin, nirempati, dan tidak mampu memenuhi kebutuhan keluargamu!" adalah sesuatu yang sering saya dengar keluar dari perempuan. Apakah laki-laki itu melawan? Tidak. Mereka diam, mereka mendengar, bahkan menangis ketika perempuannya meminta perceraian... Itulah yang membuat saya iba terhadap laki-laki. Mereka juga manusia, rupanya mereka juga bisa ditindas. Tapi seluruh dunia hanya berfokus pada perempuan.

Di sisi lain saya juga berusaha memahami perempuan dan lukanya. Budaya populer seperti menikah dengan CEO muda, tampan, kaya-raya dan dimanjakan membuat sebagian perempuan menuntut perbaikan atas kerasnya hidup. Dan memang itulah realitanya, jika tadi saya bilang laki-laki memang 'nirempati'.

Meskipun laki-laki tidak berkata-kata kasar, tapi mereka malas dan selalu minta dilayani. Bahkan ketika mereka hadir (tidak sedang mencari nafkah materil/bekerja) dan di rumah itu mereka tidak melakukan apapun, mereka diam saja membiarkan istrinya mengangkat galon sendiri, memasang gas sendiri, mengangkat ember cucian sendiri... kemudian para lelaki itu diam asik dengan dunianya. Bahkan, bercengkerama dengan anak hasil dari spermanya pun tidak, aneh bukan? Bahkan... untuk memeluk dan mencium istri yang ia jima'i sering-sering itu saja tidak.

Akan tetapi melihat kerasnya dunia kerja, bagaimana mungkin mereka dibodoh-bodohkan oleh rekan-rekan se-kantornya, macetnya jalanan, dan rasa berat di pundak serta punggungnya membuatnya merasa nyaman di rumah. Karena memang itu... 'rumah'.

Home is supposed to slow down your anxiety.

Jadi sebenarnya sedih juga, melihat keseharian laki-laki yang begitu frustrasi, sebagai perempuan pastinya ingin memberikan suaka untuk mereka.

Namun siapa yang akan memberikan suaka bagi perempuan? Bukan hanya pekerjaan rumah dan anak-anaknya yang melelahkan, terkadang dunia juga menuntutnya untuk bekerja dan berkarir. Bisa jadi karena keinginannya membantu perekonomian suami, atau semata agar ia merasa 'berharga', di hadapan lingkungannya, keluarganya, dan teman-temannya.

Pada akhirnya perempuan ini hamil, melahirkan, menyusui, mengurus rumah, dan bekerja mengurus kantornya. Betapa berat beban di pundaknya? Kembali lagi, hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang hanya ingin 'bertahan hidup'.

Di sisi lain, perempuan yang tidak bekerja merasa tidak dihargai bahkan oleh suaminya sendiri. Dirinya kumal, bajunya lusuh, dan gincunya habis, sementara uang dari suaminya sangat terbatas dan sayang untuknya mengeluarkan itu (lebih baik untuk anak-anak saja)... Laki-laki mana yang tertarik/tidak masalah dengan perempuan jelek? Pasti seribu satu. Kemudian mereka mulai melirik perempuan lain ha ha.

Dunia ini memang penuh ironi.

Tapi memang itulah realita fitrah manusia... Ujian terbesar perempuan adalah harta. Sementara laki-laki adalah nafsu syahwat kepada perempuan yang haram baginya.

Memang kuncinya hanya satu: bersabar. Dan itulah yang dijelaskan oleh Ustadz Hafidz Abdurrahman dalam ceramah beliau. Mau ber-uzlah (menjauh dari dunia) juga tidak tepat menurut syariat Islam, karena Muslim tidak boleh apatis. Ya berarti kuncinya hanya bersabar saja.


Bersabar terhadap apapun konsekuensi dari pilihan kita. Yang mana seharusnya pilihan tersebut disandarkan kepada aturan Allah dan larangan-Nya.

Dalam tingkatan hukum fikih kita mengenal 5 hal: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Maka dahulukan aturan fikih awlawiyyat (mana yang lebih prioritas, kecuali haram ya jelas harus dijauhi).

Kewajiban seorang suami adalah mencari nafkah dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yakni: sandang, pangan dan papan, juga kesehatan, pendidikan, dan keamanan (yang sebenarnya tiga terakhir itu adalah tanggungjawab negara menurut Islam, tetapi karena hari ini Kapitalisme yang tegak bukan Islam maka mau tidak mau suami yang harus mengusahakan). Bukan hanya dalam hal materi, namun juga immateril seperti pendidikan agama dalam rumah tangga.

Sebagaimana perkataan ulama:

Al-ummu warabbatul bayt, wal abu al-mudiri

(Seorang ibu adalah manajer rumah tangga dan seorang ayah adalah direkturnya).

Yang berarti suami harus memiliki kapasitas menentukan visi dan misi di dalam rumah tangga.

Dan di sisi lain, melihat dari kutipan tersebut adalah kewajiban seorang ibu memastikan seisi rumahnya berjalan sebagaimana mestinya. Yakni ia harus menjadi ar-rabbatul bayt dan madrasatul ula (sekolah pertama bagi anaknya). Ini sebagaimana hadits Rasulullah:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ… وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، وَهِيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْهُمْ»
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya… Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.”
(HR. Bukhari & Muslim)

Sebagai perempuan, aku menemukan pencerahan apik ketika mendengar ceramah Ustadz Dwi Condro. "Baik mewajibkan istri bekerja maupun melarang istri bekerja keduanya HARAM karena tidak sesuai dengan syariat Islam."



Tidak ada di dalam Islam dalil yang melarang istri bekerja, ataupun sebaliknya yang mewajibkan bekerja. Yang ada apa? Fikih awlawiyat itu... Dalil tentang tugas, yaa memanajemen rumah dan mendidik generasi penerus yang akan menjadi motor peradaban...

Bagaimana membuat keduanya berjalan silakan masing-masing pasangan mencari caranya.

Dan juga ternyata hubungan manusia itu fluid... Perjalanan hidup kita tinggal dimana... Atau usia anak berapa... Itu bisa disesuaikan dengan baik tugas maupun keinginan itu.

Dapat dipahami bahwa anak usia dini pasti memakan fokus dan waktu. Semakin anak besar dan semakin berkurang 'ketergantungannya' dengan ibu dan bapaknya, biasanya kehidupan suami-istri lebih punya banyak waktu luang. Ada masanya dimana anak harus dekat dengan ibunya, atau ayahnya, atau bahkan keduanya.

Memang hidup itu harus legowo. Semua ada waktu dan momennya. Kalau boleh jujur, ketika istri bekerja kantoran di usia anak yang masih kecil, semua urusan rumah akan berantakan. Jadi kalau bisa mencari alternatif pekerjaan lain yang masih bisa dilakukan dari rumah.

Lain cerita kalau nanti anak-anak sudah besar, sudah mandiri, bahkan hanya butuh sesekali saja di-support sama orangtuanya.

.................................................

Dari sudut pandang saya untuk diri saya sendiri:

Sepertinya I'm more inclined towards being a stay-at-home mom, yang tapi tetap berpenghasilan.

Tantangannya memang harus menghadapi lingkungan (dan kemungkinan besar orangtua) yang aduhai. Jadi ya balik lagi tadi jawabannya: bersabar.

Baik saya maupun suami harus sama-sama kuat dan bersabar menghadapi cibiran ha ha.

Semoga Allah menguatkan.

Dan siapapun suami itu.


.


Bekasi, 2 September 2025

I'm not married when I write this

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dear Husband, Everywhere is A Dying City

I understand why overthinking is a bad habit, not just a psychological issue, sometimes it can even lead to sins — lots of them. But we live in a dying city, although just like in everywhere else. It's so tiring to see such a fast-paced world. No rest, no emotion, people race to reach higher places... Although how high is high enough? I don't know. I'm dreaming of a simple and unsophisticated life. Anyway in the surah Quraish, a blessed person has enough to eat and is safe against fear. No Ferrari, no 4-storey house, no Gucci... Just a simple meal and protection. And yes, that's true... How much can you eat before your stomach exploded?  We don't need a lot... We just need simple things... الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ (4) But today, even food and security is a privilege, so are housing, clothing, healthcare, and education. Indeed, we live in a crossroad of ideologies. This world — that's dying — has developed Capitalism to its finest. ...

Membedah Baqa' dalam Diri

Manusia fitrahnya memang dilengkapi dengan naluri-naluri ( gharaiz ( plural ), gharizah ( singular )). Yang pertama ada naluri ingin menyembah sesuatu ( gharizah tadayyun ), kemudian naluri ingin mencintai ( gharizah nau' ), dan terakhir naluri mempertahankan diri ( baqa' ). Bagi orang yang pernah membaca kitab ulama kontemporer, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani pasti aware  dengan naluri alamiah manusia ini. Mempunyai naluri itu tidak dosa, karena mau bagaimana lagi? Itu sudah karakter alami manusia. Jadi, pahala dan dosa hanya berlaku dalam konteks bagaimana cara manusia memuaskan naluri itu, dengan cara-cara yang halal kah atau haram? Sepertinya dalam analisis saya terhadap diri sendiri, naluri saya yang paling dominan adalah baqa' . Ego saya sangat keras dan tinggi, dan jika tidak didudukkan saya tahu saya sangat berpotensi membuat dosa karena hal itu suatu hari nanti. Kemudian akhir-akhir ini saya kembali berada di persimpangan jalan dimana gharizah baqa'  saya tersent...

MONOLOGUE DISCUSSION #1: Apakah Usulan Pelaksanaan Sistem Ekonomi Islam Intoleran?

  (video lebih lengkap ada di Instagram / Tiktok @kucingmasjid_) Rekan-rekan pasti pernah mendengar tentang sistem ekonomi Islam ya? Mungkin secara umum ataupun secara detail… Jadi, beberapa tahun terakhir ini saya mulai memiliki ketertarikan mempelajari sistem ekonomi Islam; membaca buku-buku ekonomi Islam, ikut webinar, atau bahkan diskusi dua arah dengan orang-orang yang lebih mafhum. Terbesit di dalam benak saya tuh… wah masya Allah ya sistem ekonomi Islam ini itu super daebak, wanbyokhae , ajib yang pasti bakal membawa maslahat kalau bisa direalisasikan. Tapi sembari itu, dalam benak saya perang pemikiran langsung was wus was wus , ibarat melakukan diskusi tapi ‘monolog’ dengan sudut hati saya yang ingin meng- counter attack ideasi pelaksanaan sistem ekonomi Islam itu sendiri di era yang katanya ‘modern’ ini, sambil juga otak saya mereka ulang opini banyak orang di sekitar saya yang merasa sistem ekonomi Islam tersebut terlalu utopis untuk saat ini. Namun, benarkah de...