Waktu sekolah dulu saya punya teman yang ateis. Ketika berdialog, dia melemparkan sebuah argumen yang menurut saya seperti bola panas namun sangat berkesan. Katanya, “Kalau Tuhan itu baik, kenapa Tuhan menciptakan kelaparan, peperangan, kemiskinan, pemerkosaan, ketidakadilan, dan sejenisnya?”
Begitu pula ketika berselancar di
Youtube untuk mendengarkan ceramah Islam. Ada salah satu video ceramah yang
dikomentari oleh akun Islamofobia. Komentar itu mirip seperti komentar teman
saya yang ateis, tapi lebih spesifik menghina Islam. Komentarnya, “Allah itu
jahat. Lihat tuh orang-orang di Syria, di Palestina. Muslim kan mereka semua?
Tapi mereka miskin, kelaparan, dan dibunuh secara sia-sia.”
Dari situ saya merasa bimbang dan
malah mempertanyakan apakah benar Allah itu Mahabaik dan Islam adalah agama
yang benar? – semoga Allah mengampuni dosa saya :(
Alhamdulillah Allah tidak
membolak-balikkan hati saya untuk ikut menjadi ateis, tapi malah membuat saya
bertemu dengan orang-orang yang dekat dengan Islam untuk mempelajarinya.
.
Teman-teman, ada ngga sih diantara
kalian yang pernah berpikiran “Allah itu jahat” karena suatu musibah yang
menimpa kalian? Waktu itu keluarga saya lagi mengalami masalah ekonomi.
Orangtua saya selalu mengeluhkan perihal uang di rumah hingga saya pun
kepikiran. Dalam hati saya mengeluh bahwa hidup ini susah sekali dan sangat
tidak membahagiakan, hingga saya pun menuduh Allah tidak adil.
Kalau kalian pernah dapet musibah
apa yang membuat kalian berpikiran seperti itu juga? Ada ngga?
Intinya sih pemikiran zezad
bahwa Allah itu tidak adil saya yakini selama beberapa tahun. Ditambah lagi
ketika saya mendapati acungan telunjuk bahwa saya kurang iman, tidak bersyukur,
dan kurang ikhlas dalam hidup yang membuat hati saya semakin dongkol (padahal
itu benar ya hehe, dan saya baru tahu itu sekarang).
Saya dongkol karena saya pun
sudah shalat, sudah berdoa, sudah baca Quran juga. Saya juga ikut rohis,
padahal kalau orang lain banyak juga yang mikir ngapain sih ikut organisasi
ke-Islaman, ga ada benefitnya. Ini semata-mata karena saya pingin Allah ngasih saya ‘mukjizat’
gitu hehehe, kali aja saya tiba-tiba jadi kaya – waktu itu ya.
Intinya sih, sepanjang masa
remaja keyakinan bahwa Allah adalah Maha Pemurah selalu naik-turun. Tapi
alhamdulillah ketika akhir-akhir masa sekolah kami ada liqa’ bersama
teman-teman rohis yang lain (belajar Islam sepulang sekolah secara rutin setiap
pekan gitu). Modelnya ta’lim sih, tapi skalanya kecil.
Saya bersyukur sebenarnya bertemu
dengan mereka, karena dari sanalah ghirah (semangat) ber-Islam itu semakin
muncul, terutama ketika saya menyadari alasan mengapa banyak masalah yang
dialami oleh manusia.
Banyaknya masalah yang dialami
oleh manusia itu BUKAN karena Allah jahat. Ada 2 alasan mengapa masalah di
tengah-tengah manusia itu hadir:
1) Untuk menguji manusia-manusia
shalih/ah agar semakin meningkat derajat takwanya.
2) Untuk memperingatkan manusia
kalau TERNYATA ada aturan Allah yang ditinggalkan sehingga kehidupan jadi
kacau-balau.
Dua-duanya ini terjadi semata karena
Allah sayang terhadap hamba-Nya, sang khalifah (pemimpin) di muka bumi bernama manusia ini
(Al-Baqarah (2): 208). Kalau sebagai 'pemimpin' manusia ngga diuji, ngga akan muncul sifat kepemimpinannya kan? Jadi Allah tuh aslinya sayang (coba ingat-ingat lagi Al-Fatihah).
Dari liqa’ ini saya
berusaha menjadi pribadi yang positif sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah.
Jika diminta shalat harus yakin shalat adalah untuk mendapatkan ridha Allah.
Pun halnya baca Quran, bersedekah, bersyukur, ikhlas, dan sabar.
Ekonomi masih berat sih hihihi,
tapi sudah ngga menyalahkan Allah lagi. Berusaha untuk menahan amarah ketika
mendengarkan nasehat bahwa saya memang terlalu sombong dan kurang bersyukur –
karena itu benar dan berarti saya harus memperbaiki diri.
.
Hanya saja ini masih fase pertama. Begitu saya masuk kuliah, karena rumah saya cukup bagus (bukan sombong, tapi ini karena dibangun saat Bapak masih sugih dulu – bukan pesugihan :p), akhirnya saya dapat UKT yang tier tinggi. Padahal waktu itu kondisi ekonomi keluarga sudah masuk kategori pas-pasan.
Akhirnya saya mencoba untuk
bekerja sampingan, agar saya bisa membeli peralatan-peralatan desain saya
sendiri (cuma beberapa sih), contohnya cat air koi yang 12 warna saja bisa lebih dari
300.000 rupiah. Kita belum bicara tentang kertas, penggaris Ziegel (karena
tidak mampu beli Rotring), drawing pen, dan lain sebagainya.
Selain itu karena biaya kuliah
mahal, orangtua saya pingin dong saya menjadi yang terbaik. Memang
mereka bukan tipikal “Kamu harus cumlaude atau kami usir dari rumah!”.
Orangtua bukan tipikal yang menyuarakan tuntutan secara frontal dan jahat seperti
itu. Tapi sebagai anak, tentunya ikatan hati ini membuat saya mampu mengindera
apa yang tidak mereka suarakan. Misalnya dari gerak-gerik raut muka mereka yang
memberikan tanggapan dingin saat IP saya turun nol koma sekian digit, atau dari
hint bahwa saya harus bisa membiayai keluarga (yang sebenarnya
wajar-wajar saja insyaallah pasti saya lakukan jika saya memang mampu).
Akan tetapi itu semua membuat saya tertekan.
Saya harus menjadi yang terbaik.
Saya harus menjadi yang paling kreatif. Yang paling bisa sok bahasa Inggris.
Yang paling aktif. Yang harus memenuhi CV dengan organisasi, pelatihan, Internasionalisasi,
dan kalau bisa gratis dapat beasiswa ke luar negeri.
Karena keluarga saya tidak mampu.
Saya stress.
Tapi di titik ini sudah beda sama
waktu SMA dulu, saya sudah tidak berani menyalah-nyalahkan Allah lagi. Saya
hanya bisa ‘bersabar dan ikhlas’ tidur tengah malam, bangun jam dua pagi, tidur
di lantai asrama yang dingin (iya, waktu maba saya selalu tidur di lantai –
mungkin karena itu ya saya sekarang bisa semudah ini terkena bronkitis wkwk) untuk
menyelesaikan semua tugas akademik, non-akademik, dan pekerjaan… Sampai
di satu titik saya mempertanyakan: “Apakah benar yang saya lakukan ini, kenapa saya merasa sangat lelah”?
Di masa-masa itu, saya membuat
resisten terhadap siapapun yang mengajak saya ‘belajar Islam’ (karena banyak
yang menawari belajar Islam di kampus kan), baik itu dari teman-teman kelompok liqa’
saya yang dulu, Mbak-Mbak liqa’ lainnya, atau mungkin Mbak-Mbak yang
ngajak saya ngaji pembinaan (tatsqif). Karena saya sibuk, atau lebih tepatnya sengaja sibuk.
Saya ingat betul malah suatu
ketika saya ikut kegiatan Internasionalisasi di Kedubes Amerika, bersama
anak-anak yang giat Internasionalisasi lainnya. Saya LUPA, kalau sebenarnya
sore itu adalah jadwal saya di mentoring ke-Islaman untuk matkul Agama
Islam (tahun 2018 mentoring Islam ini adalah kegiatan wajib untuk lulus
matkul Agama Islam, kegiatan ini ditujukan sebagai tambahan untuk memperkuat
matkul Agama Islam yang cuma 2 SKS).
Sepulang dari Kedubes Amerika di
Surabaya Barat itu sebenarnya jam 4 atau 5 sore. Tapi jalanan betul-betul macet
sehingga kami baru sampai di kampus jam setengah 7 sore (atau 6.15 saya lupa,
dalam posisi kami belum wudlu, belum shalat maghrib, dan shalat isya’-nya
kira-kira jam setengah 7 itu). Kelimpungan lah saya berlari ke masjid kampus untuk
ke toilet dan wudlu 10 menit karena mengantri, tersisa lah beberapa menit saya
untuk shalat, lalu saya berlari melewati teras masjid untuk ke tempat shalat.
Mendadak di teras masjid itu saya
terpaku. Saya bertatapan mata dengan mentor saya di kegiatan mentoring Islam
yang beliau sedang duduk melingkar bersama teman-teman kelas saya yang lain. Di
situlah saya baru teringat dari kelupaan saya. Aduh! Iya ya, hari ini kan
jadwalnya mentoring!
Dengan malu saya buru-buru
meminta maaf kepada si Mbak dan langsung berlari ke atas karena khawatir waktu
shalatnya habis. Shalat lah saya dan tepat selesai salam, dug, azan isya
berkumandang.
Di samping telinga saya mendengar
riuh, gaduh orang-orang yang se-rombongan saya ke Kedubes Amerika tadi ternyata
ada beberapa diantara mereka yang belum sempat shalat maghrib, atau di
tengah-tengah shalat maghrib ketika azan tersebut dikumandangkan, lalu mereka
membatalkan shalatnya.
.
Awal-awal kuliah itu adalah masa
saya sejatuh-jatuhnya. Saya bingung, bimbang, dan tak tahu harus berbuat
bagaimana. Saya terus bertanya-tanya, apakah benar ini semua yang saya inginkan?
Internasionalisasi ini, kehidupan yang sibuk dengan urusan dunia ini… Yang saya
berdalih ‘saya ini sedang menunjukkan bahwa Muslim itu bisa! Allah pasti
menolong aku sukses!’ tapi di sisi lain saya malah meninggalkan mentoring Islam
yang sudah dijadwalkan, atau dengan entengnya melakukan seperti itu kepada
shalat hanya karena saya macet di jalan selepas Internasionalisasi.
Apa benar saya Muslim yang
meminta kepada Allah? Atau meminta kepada dunia?
Iya, saya sudah berusaha
bersabar, ikhlas, bersyukur, yang penting shalat lah, dan ngga mempertanyakan keadilan
Allah… tapi di sisi lain saya lebih memilih kesibukan-kesibukan dunia itu semua
karena memang saya ‘terhimpit’ secara ekonomi dan realita sehingga saya
mencukupkan diri dengan bersabar dan sejenisnya itu, berharap “Allah pasti
ngerti kok kalau aku sibuk”.
Katanya kita semua bergantung
pada keadilan Allah, tapi kenapa kita malah menjauh dan mengentengkan-Nya?
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا
مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ 15
وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ
فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ 16
كَلَّا بَلْ لَا تُكْرِمُونَ
الْيَتِيمَ 17
وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَى
طَعَامِ الْمِسْكِينِ 18
وَتَأْكُلُونَ التُّرَاثَ
أَكْلًا لَمًّا 19
وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا
جَمًّا 20
Adapun manusia apabila Tuhannya
mengujinya, lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata,
"Tuhanku telah memuliakanku.”
Adapun bila Tuhannya mengujinya,
lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, "Tuhanku menghinakanku.”
Sekali-kali tidak (demikian),
sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim,
dan kamu tidak saling mengajak
memberi makan orang miskin,
dan kamu memakan harta pusaka
dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang batil),
dan kamu mencintai harta benda
dengan kecintaan yang berlebihan.
- al-Fajr (15-20)
.
Setelah itu saya mencoba untuk mengurangi ambisi saya terhadap Internasionalisasi dan kegiatan yang berlebihan, lalu menggantinya ke organisasi ke-Islaman di kampus yang waktu itu membuat saya semakin merasa tahu diri bahwa saya ini hanya HAMBA KECIL di hadapan Allah.
Di divisi kepenulisan Islam itu saya berusaha menyelami ‘apa sih yang dimau
sama Allah’ melalui literatur-literatur yang awalnya sih ‘terpaksa harus saya baca’ – sumber
literatur itu ya tentunya dalil-dalil syar’i jadi pada akhirnya saya
juga belajar Islam :3
Padahal saya tidak pernah jadi
anak pondokan. Ini adalah hal yang sangat baru dan eye-opening.
Di organisasi itu juga lah saya
bertemu dan berdiskusi dengan teman-teman Muslim. Saya cukup ‘kaget’ karena
ternyata ketika belajar Islam kita ngga cuma belajar tentang cara sabar, cara
bersyukur, cara ikhlas – yang tadinya saya kira Islam cuma tentang itu –
ditambah topik-topik favorit anak rohis hijrah yaitu: shalat, doa, dan
pernikahan wkwk.
Di divisi kepenulisan itu saya
diperkenalkan dengan hal baru seperti tulisan-tulisan Dr. Adian Husaini, Gen Saladin, Kajian Pelepah Kurma (yang kadang ada di radio Suara
Muslim wkwk – dulu tahun 2018), dan sebagainya. Sampai suatu ketika kami
membahas tentang RUU-PKS dalam sudut pandang Islam.
Iya, itu juga bikin kaget karena, “Loh, ternyata wawasan tentang Islam pun bisa kita gunakan untuk menganalisis rancangan hukum ya?” (bentar, pro-kontranya kita bahas lain kali wkwk beda topik).
Dari situ juga saya berdiskusi
dan ketemu lah tulisan-tulisan lain seperti yang dikeluarkan Dr. Fika Komara
dengan Institut Muslimah Negarawan-nya, Dr. Nazreen Nawaz, Komunitas Literasi
Islam, rangkaian tulisan hasil mujtahid Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, lalu saya
tahu ternyata ada ulama yang namanya Imam as-Suyuthi, dan seterusnya hingga
hari ini.
Oh, betapa luasnya ya ternyata
yang diatur oleh Islam!
.
Kembali kepada ejekan seorang penganut
Islamofobia yang pernah saya baca dulu itu, bahwasanya Allah tidak adil karena
membuat Muslim Palestina, Syria, Irak, Afghanistan, Rohingya, Kashmir, Uyghur,
Somalia, daaaaan seterusnya terjajah, miskin, kelaparan, dan minim pendidikan.
ITU SANGAT TIDAK BENAR.
‘Syariat Islam’ yang mereka ejek
sebagai kolot dan ketinggalan zaman itu, realitanya mengandung 3 sphere yang
mungkin belum pernah para ateis dan pembenci Islam pahami:
1) Hablumminallah
(hubungan manusia dengan Allah).
2) Hablum bin nafsihi
(hubungan manusia dengan dirinya sendiri).
3) Hablumminannas (hubungan
manusia dengan sesama dan lingkungannya).
Hablumminallah adalah core,
kalau ibarat pohon dia adalah akarnya. Apa itu? Akidah (landasan berpikir). Akidah
Islam berarti membuat manusia yakin bahwa Allah itu ada dan Maha Melihatnya… PLUS
Maha Mengaturnya.
Oleh sebab itu, Ia menurunkan
aturan untuk manusia terhadap dirinya sendiri (hablum bin nafsihi) dan juga
aturannya saat hidup sehari-hari bersama lingkungannya (hablumminannas).
Tunggu dulu, kita jeda sebentar
hehe…
1…
2…
3…
Nah, yang DIKIRA oleh manusia Muslim
di zaman sekarang adalah bahwa jika ia sudah shalat, sudah puasa, sudah
bersabar, bersyukur, dan ikhlas itu sudah cukup – sesungguhnya dia BARU
MENGERJAKAN sphere hablumminallah dan hablum bin nafsihi SAJA!
Sementara yang hablumminannas cenderung
ditinggalkan.
Sama seperti yang saya alami
dulu, mengapa kehidupan saya terasa sesak adalah karena saya cukup hablumminallah
dan hablum bin nafsihi, tapi ketika sudah melihat dunia saya
habiskan SELURUH waktu saya untuk dunia SAJA.
Sebenarnya dengan kata lain,
kalau saya mengaku sudah hablumminallah dan hablum bin nafsihi pun
ngga layak mengaku-ngaku seperti itu :3… Karena realitanya, kalau meninggalkan hablumminannas
kan sama saja ngga meyakini dan mengerjakan aturan Allah dalam kehidupan
bersosial sebagai insan sehari-hari.
Berarti hablumminallah dicoret.
Ngga usah ngobrol hablum bin nafsihi
bahkan, kalau ternyata hablumminallah saya saja sebenarnya ‘tidak
layak’, hubungan saya dengan diri saya sendiri akhirnya masuk aturan siapa?
Apalagi hablumminannas-nya.
Padahal hablumminannas ini meliputi sebagian besar syariat Islam lho.
Para asatidz bilang sekitar 70-80%
aturan yang diturunkan Allah itu mengatur hubungan manusia dengan
lingkungannya. Ada politik, ekonomi, pendidikan, sosial, pergaulan, hukum,
kebudayaan, dan lain sebagainya.
Bayangkan jika ini semuuuuua
tidak menggunakan aturannya Allah?
Dan begitu kan realitanya hari
ini?
Contohlah soal pendidikan.
Mencari ilmu, baik ilmu Islam secara fardhu ‘ain dan sains secara fardhu
kifayah adalah bagian dari syariat Islam dan setiap orang-orang yang
beriman harus memahami ini.
…قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ
يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ
ࣖ
“…Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.”
(Az-Zumar (39):9)
Itulah mengapa Rasulullah, para
Sahabat, dan salafush shalih mendukung pendidikan banget bagi
masyarakat negerinya. Contoh di masa Umar bin Khattab, gaji guru yang ngajarin
baca-tulis aja sekitar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas). Di masa Umar bin Abdul Aziz, didirikan
sekolah-sekolah formal. Di masa Abbasiyah malah masa yang terkenal dengan
banyaknya inovasi, kalian mungkin tahu perpustakaan bernama Baitul Hikmah yang
terkenal itu di Baghdad? Bahkan pendiri universitas pertama pun adalah seorang
Muslimah bernama Fatimah al-Fihri!
Pendidikan sangat terjangkau dan
berkualitas luar biasa, serta independen – bukan hanya soal dana tapi juga
pemikiran yang diajarkan.
Tidak seperti di tahun 2018
ketika UKT yang dibayarkan setiap semester bisa mencapai 7,5 juta rupiah (Maha
Suci Allah yang tidak membuat saya masuk kuliah di tahun 2022 ketika kuota
Mandiri ditingkatkan sampai 40% dan UKT bisa lebih dari sepuluh juta rupiah! Mungkin
saya ngga akan kuat hidup jadi mahasiswa baru di tahun ini wkwk). Apalagi saya
anak SBM dengan nilai kayanya relatif pas-pasan, bisa jadi malah saya ngga
keterima di kampus :”)
Udah gitu, matkul agama pun juga cuma 2 SKS + mentoring Islam saja.
Sebagai Muslim ini adalah paradoks
yang besar. Katanya pendidikan penting bagi Muslim, tapi mahal, dan bahkan
menimbulkan ‘kecemburuan sosial’ karena masyarakat kelas sosial tertentu saja
yang akhirnya bisa masuk ke kampus-kampus favorit karena memiliki dana.
“Apakah Allah jahat dan tidak
adil, membuat manusia tidak bisa mendapatkan hak pendidikannya?”
Tidak, Ferguso! Justru ini
terjadi karena aturan Allah mengenai pendidikan tidak diterapkan!
Yang mana pendidikan bersumber
pada politik, sehingga itu berarti aturan politik yang dipakai pun tidak sesuai
aturan Allah!
Aturan politik yang tidak sesuai
Islam berarti melahirkan ekonomi yang tidak sesuai Islam juga! Sehingga dana
pun tak ada untuk mewujudkan pendidikan seperti pendidikan di masa kejayaan
Islam.
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى
فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”
(Thaha (20):124)
Hidup yang sempit!
Orang-orang Palestina, Syria, dan
sebagainya terjajah MESKIPUN mereka Muslim, dan kita pun Muslim TIDAK SELALU
BERARTI kita kurang ikhlas dan bersyukur, atau meninggalkan shalat fardhu…
Tapi karena ada aturan-aturan hablumminannas yang hari ini tidak sudi
kita penuhi!
Sudahkah umat Islam bersatu dalam
sistem politik, ekonomi, pendidikan, sosial, hukum, yang SESUAI ATURAN ALLAH
DAN CONTOH RASULULLAH?
Sudahkah umat Islam mempelajari
apa itu sistem politik, ekonomi, pendidikan, sosial, hukum, yang SESUAI ATURAN
ALLAH DAN CONTOH RASULULLAH?
Dan sudahkah umat Islam berjuang
untuk menegakkan sistem politik, ekonomi, pendidikan, sosial, hukum, yang SESUAI
ATURAN ALLAH DAN CONTOH RASULULLAH?
Kalau belum, skuy kita pelajari
dulu, dakwahkan, dan influencing Muslim lainnya untuk menegakkan juga…
Jadi sempatkan waktu kita untuk
belajar Islam. BUKAN kalau sempat di sela-sela kerjaan kita yang tidak
selesai-selesai, lembur, dan kemegahan duniawi yang fana di balik rekening bank
kita yang menggembung secara instan.
Bagaimana Allah bisa menurunkan
rahmat-Nya, jika kita pun tidak berusaha mengejar rahmat-Nya itu dan sombong
terhadap egoisme pribadi kita?
إذا تَقَرَّبَ العبدُ إليَّ
شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إليه ذِرَاعًا، وإذا تَقَرَّبَ إليَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ
بَاعًا، وإذا أتاني يمشي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
"Jika seorang hamba mendekati-Ku sejengkal, niscaya Aku mendekatinya satu hasta. Jika dia mendekati-Ku satu hasta, niscaya Aku mendekatinya satu depa. Jika dia mendatangi-Ku dengan berjalan kaki, niscaya Aku mendatanginya dengan berlari kecil."
(HR. Bukhari)
.
Wallahu a’lam bis shawab.
Tulisan ini adalah untuk diri saya
sendiri, sehingga jika terkesan menggunakan kata-kata jahat, semata-mata untuk
memperingatkan diri saya sendiri hehe. Afwan katsir.
Jazakumullah khayran.
.
*NB untuk diri saya sendiri juga: “Shalat, sabar, ikhlas, tapi males memperjuangkan seluruh syariat Islam? Ternyata shalat-mu hanya penggugur kewajiban aja ya? Ga usah beriman sekalian, bos! Sibuk cari materi sana hehe! Tapi kalau hidupnya sempit dan berat, nanti nanges... salahmu dhewe!”
.
Di lantai atas rumah panas, 8
Januari 2023


Komentar
Posting Komentar