Langsung ke konten utama

Muslim dan Ateis

Waktu sekolah dulu saya punya teman yang ateis. Ketika berdialog, dia melemparkan sebuah argumen yang menurut saya seperti bola panas namun sangat berkesan. Katanya, “Kalau Tuhan itu baik, kenapa Tuhan menciptakan kelaparan, peperangan, kemiskinan, pemerkosaan, ketidakadilan, dan sejenisnya?”

Begitu pula ketika berselancar di Youtube untuk mendengarkan ceramah Islam. Ada salah satu video ceramah yang dikomentari oleh akun Islamofobia. Komentar itu mirip seperti komentar teman saya yang ateis, tapi lebih spesifik menghina Islam. Komentarnya, “Allah itu jahat. Lihat tuh orang-orang di Syria, di Palestina. Muslim kan mereka semua? Tapi mereka miskin, kelaparan, dan dibunuh secara sia-sia.”

Dari situ saya merasa bimbang dan malah mempertanyakan apakah benar Allah itu Mahabaik dan Islam adalah agama yang benar? – semoga Allah mengampuni dosa saya :(

Alhamdulillah Allah tidak membolak-balikkan hati saya untuk ikut menjadi ateis, tapi malah membuat saya bertemu dengan orang-orang yang dekat dengan Islam untuk mempelajarinya.

.

Teman-teman, ada ngga sih diantara kalian yang pernah berpikiran “Allah itu jahat” karena suatu musibah yang menimpa kalian? Waktu itu keluarga saya lagi mengalami masalah ekonomi. Orangtua saya selalu mengeluhkan perihal uang di rumah hingga saya pun kepikiran. Dalam hati saya mengeluh bahwa hidup ini susah sekali dan sangat tidak membahagiakan, hingga saya pun menuduh Allah tidak adil.

Kalau kalian pernah dapet musibah apa yang membuat kalian berpikiran seperti itu juga? Ada ngga?

Intinya sih pemikiran zezad bahwa Allah itu tidak adil saya yakini selama beberapa tahun. Ditambah lagi ketika saya mendapati acungan telunjuk bahwa saya kurang iman, tidak bersyukur, dan kurang ikhlas dalam hidup yang membuat hati saya semakin dongkol (padahal itu benar ya hehe, dan saya baru tahu itu sekarang).

Saya dongkol karena saya pun sudah shalat, sudah berdoa, sudah baca Quran juga. Saya juga ikut rohis, padahal kalau orang lain banyak juga yang mikir ngapain sih ikut organisasi ke-Islaman, ga ada benefitnya. Ini semata-mata karena saya pingin Allah ngasih saya ‘mukjizat’ gitu hehehe, kali aja saya tiba-tiba jadi kaya – waktu itu ya.

Intinya sih, sepanjang masa remaja keyakinan bahwa Allah adalah Maha Pemurah selalu naik-turun. Tapi alhamdulillah ketika akhir-akhir masa sekolah kami ada liqa’ bersama teman-teman rohis yang lain (belajar Islam sepulang sekolah secara rutin setiap pekan gitu). Modelnya ta’lim sih, tapi skalanya kecil.

Saya bersyukur sebenarnya bertemu dengan mereka, karena dari sanalah ghirah (semangat) ber-Islam itu semakin muncul, terutama ketika saya menyadari alasan mengapa banyak masalah yang dialami oleh manusia.

Banyaknya masalah yang dialami oleh manusia itu BUKAN karena Allah jahat. Ada 2 alasan mengapa masalah di tengah-tengah manusia itu hadir:

1) Untuk menguji manusia-manusia shalih/ah agar semakin meningkat derajat takwanya.

2) Untuk memperingatkan manusia kalau TERNYATA ada aturan Allah yang ditinggalkan sehingga kehidupan jadi kacau-balau.

Dua-duanya ini terjadi semata karena Allah sayang terhadap hamba-Nya, sang khalifah (pemimpin) di muka bumi bernama manusia ini (Al-Baqarah (2): 208). Kalau sebagai 'pemimpin' manusia ngga diuji, ngga akan muncul sifat kepemimpinannya kan? Jadi Allah tuh aslinya sayang (coba ingat-ingat lagi Al-Fatihah).

Dari liqa’ ini saya berusaha menjadi pribadi yang positif sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah. Jika diminta shalat harus yakin shalat adalah untuk mendapatkan ridha Allah. Pun halnya baca Quran, bersedekah, bersyukur, ikhlas, dan sabar.

Ekonomi masih berat sih hihihi, tapi sudah ngga menyalahkan Allah lagi. Berusaha untuk menahan amarah ketika mendengarkan nasehat bahwa saya memang terlalu sombong dan kurang bersyukur – karena itu benar dan berarti saya harus memperbaiki diri.

.

Hanya saja ini masih fase pertama. Begitu saya masuk kuliah, karena rumah saya cukup bagus (bukan sombong, tapi ini karena dibangun saat Bapak masih sugih dulu – bukan pesugihan :p), akhirnya saya dapat UKT yang tier tinggi. Padahal waktu itu kondisi ekonomi keluarga sudah masuk kategori pas-pasan.

Membayar UKT dengan biaya segitu setiap semesternya rasanya menyesakkan hati sekali.
Ditambah lagi saya kuliah desain yang seluruh peralatannya amat-sangat mahal, sebagaimana yang kalian tahu.

Akhirnya saya mencoba untuk bekerja sampingan, agar saya bisa membeli peralatan-peralatan desain saya sendiri (cuma beberapa sih), contohnya cat air koi yang 12 warna saja bisa lebih dari 300.000 rupiah. Kita belum bicara tentang kertas, penggaris Ziegel (karena tidak mampu beli Rotring), drawing pen, dan lain sebagainya.

Selain itu karena biaya kuliah mahal, orangtua saya pingin dong saya menjadi yang terbaik. Memang mereka bukan tipikal “Kamu harus cumlaude atau kami usir dari rumah!”. Orangtua bukan tipikal yang menyuarakan tuntutan secara frontal dan jahat seperti itu. Tapi sebagai anak, tentunya ikatan hati ini membuat saya mampu mengindera apa yang tidak mereka suarakan. Misalnya dari gerak-gerik raut muka mereka yang memberikan tanggapan dingin saat IP saya turun nol koma sekian digit, atau dari hint bahwa saya harus bisa membiayai keluarga (yang sebenarnya wajar-wajar saja insyaallah pasti saya lakukan jika saya memang mampu). Akan tetapi itu semua membuat saya tertekan.

Saya harus menjadi yang terbaik. Saya harus menjadi yang paling kreatif. Yang paling bisa sok bahasa Inggris. Yang paling aktif. Yang harus memenuhi CV dengan organisasi, pelatihan, Internasionalisasi, dan kalau bisa gratis dapat beasiswa ke luar negeri.

Karena keluarga saya tidak mampu.

Saya stress.

Tapi di titik ini sudah beda sama waktu SMA dulu, saya sudah tidak berani menyalah-nyalahkan Allah lagi. Saya hanya bisa ‘bersabar dan ikhlas’ tidur tengah malam, bangun jam dua pagi, tidur di lantai asrama yang dingin (iya, waktu maba saya selalu tidur di lantai – mungkin karena itu ya saya sekarang bisa semudah ini terkena bronkitis wkwk) untuk menyelesaikan semua tugas akademik, non-akademik, dan pekerjaan Sampai di satu titik saya mempertanyakan: “Apakah benar yang saya lakukan ini, kenapa saya merasa sangat lelah”?

Di masa-masa itu, saya membuat resisten terhadap siapapun yang mengajak saya ‘belajar Islam’ (karena banyak yang menawari belajar Islam di kampus kan), baik itu dari teman-teman kelompok liqa’ saya yang dulu, Mbak-Mbak liqa’ lainnya, atau mungkin Mbak-Mbak yang ngajak saya ngaji pembinaan (tatsqif). Karena saya sibuk, atau lebih tepatnya sengaja sibuk.

Saya ingat betul malah suatu ketika saya ikut kegiatan Internasionalisasi di Kedubes Amerika, bersama anak-anak yang giat Internasionalisasi lainnya. Saya LUPA, kalau sebenarnya sore itu adalah jadwal saya di mentoring ke-Islaman untuk matkul Agama Islam (tahun 2018 mentoring Islam ini adalah kegiatan wajib untuk lulus matkul Agama Islam, kegiatan ini ditujukan sebagai tambahan untuk memperkuat matkul Agama Islam yang cuma 2 SKS).


Sepulang dari Kedubes Amerika di Surabaya Barat itu sebenarnya jam 4 atau 5 sore. Tapi jalanan betul-betul macet sehingga kami baru sampai di kampus jam setengah 7 sore (atau 6.15 saya lupa, dalam posisi kami belum wudlu, belum shalat maghrib, dan shalat isya’-nya kira-kira jam setengah 7 itu). Kelimpungan lah saya berlari ke masjid kampus untuk ke toilet dan wudlu 10 menit karena mengantri, tersisa lah beberapa menit saya untuk shalat, lalu saya berlari melewati teras masjid untuk ke tempat shalat.

Mendadak di teras masjid itu saya terpaku. Saya bertatapan mata dengan mentor saya di kegiatan mentoring Islam yang beliau sedang duduk melingkar bersama teman-teman kelas saya yang lain. Di situlah saya baru teringat dari kelupaan saya. Aduh! Iya ya, hari ini kan jadwalnya mentoring!

Dengan malu saya buru-buru meminta maaf kepada si Mbak dan langsung berlari ke atas karena khawatir waktu shalatnya habis. Shalat lah saya dan tepat selesai salam, dug, azan isya berkumandang.

Di samping telinga saya mendengar riuh, gaduh orang-orang yang se-rombongan saya ke Kedubes Amerika tadi ternyata ada beberapa diantara mereka yang belum sempat shalat maghrib, atau di tengah-tengah shalat maghrib ketika azan tersebut dikumandangkan, lalu mereka membatalkan shalatnya.

.

Awal-awal kuliah itu adalah masa saya sejatuh-jatuhnya. Saya bingung, bimbang, dan tak tahu harus berbuat bagaimana. Saya terus bertanya-tanya, apakah benar ini semua yang saya inginkan? Internasionalisasi ini, kehidupan yang sibuk dengan urusan dunia ini… Yang saya berdalih ‘saya ini sedang menunjukkan bahwa Muslim itu bisa! Allah pasti menolong aku sukses!’ tapi di sisi lain saya malah meninggalkan mentoring Islam yang sudah dijadwalkan, atau dengan entengnya melakukan seperti itu kepada shalat hanya karena saya macet di jalan selepas Internasionalisasi.

Apa benar saya Muslim yang meminta kepada Allah? Atau meminta kepada dunia?

Iya, saya sudah berusaha bersabar, ikhlas, bersyukur, yang penting shalat lah, dan ngga mempertanyakan keadilan Allah… tapi di sisi lain saya lebih memilih kesibukan-kesibukan dunia itu semua karena memang saya ‘terhimpit’ secara ekonomi dan realita sehingga saya mencukupkan diri dengan bersabar dan sejenisnya itu, berharap “Allah pasti ngerti kok kalau aku sibuk”.

Katanya kita semua bergantung pada keadilan Allah, tapi kenapa kita malah menjauh dan mengentengkan-Nya?

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ 15

وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ 16

كَلَّا بَلْ لَا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ 17

وَلَا تَحَاضُّونَ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ 18

وَتَأْكُلُونَ التُّرَاثَ أَكْلًا لَمًّا 19

وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا 20

Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya, lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia berkata, "Tuhanku telah memuliakanku.”

Adapun bila Tuhannya mengujinya, lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, "Tuhanku menghinakanku.”

Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim,

dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin,

dan kamu memakan harta pusaka dengan cara mencampurbaurkan (yang halal dan yang batil),

dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.

- al-Fajr (15-20)

.

Setelah itu saya mencoba untuk mengurangi ambisi saya terhadap Internasionalisasi dan kegiatan yang berlebihan, lalu menggantinya ke organisasi ke-Islaman di kampus yang waktu itu membuat saya semakin merasa tahu diri bahwa saya ini hanya HAMBA KECIL di hadapan Allah. 

Di divisi kepenulisan Islam itu saya berusaha menyelami ‘apa sih yang dimau sama Allah’ melalui literatur-literatur yang awalnya sih ‘terpaksa harus saya baca’ – sumber literatur itu ya tentunya dalil-dalil syar’i jadi pada akhirnya saya juga belajar Islam :3

Padahal saya tidak pernah jadi anak pondokan. Ini adalah hal yang sangat baru dan eye-opening.

Di organisasi itu juga lah saya bertemu dan berdiskusi dengan teman-teman Muslim. Saya cukup ‘kaget’ karena ternyata ketika belajar Islam kita ngga cuma belajar tentang cara sabar, cara bersyukur, cara ikhlas – yang tadinya saya kira Islam cuma tentang itu – ditambah topik-topik favorit anak rohis hijrah yaitu: shalat, doa, dan pernikahan wkwk.

Di divisi kepenulisan itu saya diperkenalkan dengan hal baru seperti tulisan-tulisan Dr. Adian Husaini, Gen Saladin, Kajian Pelepah Kurma (yang kadang ada di radio Suara Muslim wkwk – dulu tahun 2018), dan sebagainya. Sampai suatu ketika kami membahas tentang RUU-PKS dalam sudut pandang Islam.

Iya, itu juga bikin kaget karena, “Loh, ternyata wawasan tentang Islam pun bisa kita gunakan untuk menganalisis rancangan hukum ya?” (bentar, pro-kontranya kita bahas lain kali wkwk beda topik). 

Dari situ juga saya berdiskusi dan ketemu lah tulisan-tulisan lain seperti yang dikeluarkan Dr. Fika Komara dengan Institut Muslimah Negarawan-nya, Dr. Nazreen Nawaz, Komunitas Literasi Islam, rangkaian tulisan hasil mujtahid Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, lalu saya tahu ternyata ada ulama yang namanya Imam as-Suyuthi, dan seterusnya hingga hari ini.

Oh, betapa luasnya ya ternyata yang diatur oleh Islam!

.

Kembali kepada ejekan seorang penganut Islamofobia yang pernah saya baca dulu itu, bahwasanya Allah tidak adil karena membuat Muslim Palestina, Syria, Irak, Afghanistan, Rohingya, Kashmir, Uyghur, Somalia, daaaaan seterusnya terjajah, miskin, kelaparan, dan minim pendidikan.

ITU SANGAT TIDAK BENAR.

‘Syariat Islam’ yang mereka ejek sebagai kolot dan ketinggalan zaman itu, realitanya mengandung 3 sphere yang mungkin belum pernah para ateis dan pembenci Islam pahami:

1) Hablumminallah (hubungan manusia dengan Allah).

2) Hablum bin nafsihi (hubungan manusia dengan dirinya sendiri).

3) Hablumminannas (hubungan manusia dengan sesama dan lingkungannya).

Hablumminallah adalah core, kalau ibarat pohon dia adalah akarnya. Apa itu? Akidah (landasan berpikir). Akidah Islam berarti membuat manusia yakin bahwa Allah itu ada dan Maha Melihatnya… PLUS Maha Mengaturnya.

Oleh sebab itu, Ia menurunkan aturan untuk manusia terhadap dirinya sendiri (hablum bin nafsihi) dan juga aturannya saat hidup sehari-hari bersama lingkungannya (hablumminannas).

Tunggu dulu, kita jeda sebentar hehe…

1…

2…

3…

Nah, yang DIKIRA oleh manusia Muslim di zaman sekarang adalah bahwa jika ia sudah shalat, sudah puasa, sudah bersabar, bersyukur, dan ikhlas itu sudah cukup – sesungguhnya dia BARU MENGERJAKAN sphere hablumminallah dan hablum bin nafsihi SAJA!

Sementara yang hablumminannas cenderung ditinggalkan.

Sama seperti yang saya alami dulu, mengapa kehidupan saya terasa sesak adalah karena saya cukup hablumminallah dan hablum bin nafsihi, tapi ketika sudah melihat dunia saya habiskan SELURUH waktu saya untuk dunia SAJA.

Sebenarnya dengan kata lain, kalau saya mengaku sudah hablumminallah dan hablum bin nafsihi pun ngga layak mengaku-ngaku seperti itu :3… Karena realitanya, kalau meninggalkan hablumminannas kan sama saja ngga meyakini dan mengerjakan aturan Allah dalam kehidupan bersosial sebagai insan sehari-hari.

Berarti hablumminallah dicoret.

Ngga usah ngobrol hablum bin nafsihi bahkan, kalau ternyata hablumminallah saya saja sebenarnya ‘tidak layak’, hubungan saya dengan diri saya sendiri akhirnya masuk aturan siapa?

Apalagi hablumminannas-nya.

Padahal hablumminannas ini meliputi sebagian besar syariat Islam lho. 

Para asatidz bilang sekitar 70-80% aturan yang diturunkan Allah itu mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Ada politik, ekonomi, pendidikan, sosial, pergaulan, hukum, kebudayaan, dan lain sebagainya.

Bayangkan jika ini semuuuuua tidak menggunakan aturannya Allah?

Dan begitu kan realitanya hari ini?

Contohlah soal pendidikan. Mencari ilmu, baik ilmu Islam secara fardhu ‘ain dan sains secara fardhu kifayah adalah bagian dari syariat Islam dan setiap orang-orang yang beriman harus memahami ini.

…قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ ࣖ

“…Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.” 

(Az-Zumar (39):9)

Itulah mengapa Rasulullah, para Sahabat, dan salafush shalih mendukung pendidikan banget bagi masyarakat negerinya. Contoh di masa Umar bin Khattab, gaji guru yang ngajarin baca-tulis aja sekitar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas). Di masa Umar bin Abdul Aziz, didirikan sekolah-sekolah formal. Di masa Abbasiyah malah masa yang terkenal dengan banyaknya inovasi, kalian mungkin tahu perpustakaan bernama Baitul Hikmah yang terkenal itu di Baghdad? Bahkan pendiri universitas pertama pun adalah seorang Muslimah bernama Fatimah al-Fihri!

Pendidikan sangat terjangkau dan berkualitas luar biasa, serta independen – bukan hanya soal dana tapi juga pemikiran yang diajarkan.

Tidak seperti di tahun 2018 ketika UKT yang dibayarkan setiap semester bisa mencapai 7,5 juta rupiah (Maha Suci Allah yang tidak membuat saya masuk kuliah di tahun 2022 ketika kuota Mandiri ditingkatkan sampai 40% dan UKT bisa lebih dari sepuluh juta rupiah! Mungkin saya ngga akan kuat hidup jadi mahasiswa baru di tahun ini wkwk). Apalagi saya anak SBM dengan nilai kayanya relatif pas-pasan, bisa jadi malah saya ngga keterima di kampus :”)

Udah gitu, matkul agama pun juga cuma 2 SKS + mentoring Islam saja.

Sebagai Muslim ini adalah paradoks yang besar. Katanya pendidikan penting bagi Muslim, tapi mahal, dan bahkan menimbulkan ‘kecemburuan sosial’ karena masyarakat kelas sosial tertentu saja yang akhirnya bisa masuk ke kampus-kampus favorit karena memiliki dana.

“Apakah Allah jahat dan tidak adil, membuat manusia tidak bisa mendapatkan hak pendidikannya?”

Tidak, Ferguso! Justru ini terjadi karena aturan Allah mengenai pendidikan tidak diterapkan!

Yang mana pendidikan bersumber pada politik, sehingga itu berarti aturan politik yang dipakai pun tidak sesuai aturan Allah!

Aturan politik yang tidak sesuai Islam berarti melahirkan ekonomi yang tidak sesuai Islam juga! Sehingga dana pun tak ada untuk mewujudkan pendidikan seperti pendidikan di masa kejayaan Islam.

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُۥ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ أَعْمَىٰ

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” 

(Thaha (20):124)

Hidup yang sempit!

Orang-orang Palestina, Syria, dan sebagainya terjajah MESKIPUN mereka Muslim, dan kita pun Muslim TIDAK SELALU BERARTI kita kurang ikhlas dan bersyukur, atau meninggalkan shalat fardhuTapi karena ada aturan-aturan hablumminannas yang hari ini tidak sudi kita penuhi!

Sudahkah umat Islam bersatu dalam sistem politik, ekonomi, pendidikan, sosial, hukum, yang SESUAI ATURAN ALLAH DAN CONTOH RASULULLAH?

Sudahkah umat Islam mempelajari apa itu sistem politik, ekonomi, pendidikan, sosial, hukum, yang SESUAI ATURAN ALLAH DAN CONTOH RASULULLAH?

Dan sudahkah umat Islam berjuang untuk menegakkan sistem politik, ekonomi, pendidikan, sosial, hukum, yang SESUAI ATURAN ALLAH DAN CONTOH RASULULLAH?

Kalau belum, skuy kita pelajari dulu, dakwahkan, dan influencing Muslim lainnya untuk menegakkan juga…

Jadi sempatkan waktu kita untuk belajar Islam. BUKAN kalau sempat di sela-sela kerjaan kita yang tidak selesai-selesai, lembur, dan kemegahan duniawi yang fana di balik rekening bank kita yang menggembung secara instan.

Bagaimana Allah bisa menurunkan rahmat-Nya, jika kita pun tidak berusaha mengejar rahmat-Nya itu dan sombong terhadap egoisme pribadi kita?

إذا تَقَرَّبَ العبدُ إليَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إليه ذِرَاعًا، وإذا تَقَرَّبَ إليَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا، وإذا أتاني يمشي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً

"Jika seorang hamba mendekati-Ku sejengkal, niscaya Aku mendekatinya satu hasta. Jika dia mendekati-Ku satu hasta, niscaya Aku mendekatinya satu depa. Jika dia mendatangi-Ku dengan berjalan kaki, niscaya Aku mendatanginya dengan berlari kecil." 

(HR. Bukhari)

.

Wallahu a’lam bis shawab.

Tulisan ini adalah untuk diri saya sendiri, sehingga jika terkesan menggunakan kata-kata jahat, semata-mata untuk memperingatkan diri saya sendiri hehe. Afwan katsir.

Jazakumullah khayran.

.

*NB untuk diri saya sendiri juga: “Shalat, sabar, ikhlas, tapi males memperjuangkan seluruh syariat Islam? Ternyata shalat-mu hanya penggugur kewajiban aja ya? Ga usah beriman sekalian, bos! Sibuk cari materi sana hehe! Tapi kalau hidupnya sempit dan berat, nanti nanges... salahmu dhewe!”

.

Di lantai atas rumah panas, 8 Januari 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dear Husband, Everywhere is A Dying City

I understand why overthinking is a bad habit, not just a psychological issue, sometimes it can even lead to sins — lots of them. But we live in a dying city, although just like in everywhere else. It's so tiring to see such a fast-paced world. No rest, no emotion, people race to reach higher places... Although how high is high enough? I don't know. I'm dreaming of a simple and unsophisticated life. Anyway in the surah Quraish, a blessed person has enough to eat and is safe against fear. No Ferrari, no 4-storey house, no Gucci... Just a simple meal and protection. And yes, that's true... How much can you eat before your stomach exploded?  We don't need a lot... We just need simple things... الَّذِي أَطْعَمَهُمْ مِنْ جُوعٍ وَآمَنَهُمْ مِنْ خَوْفٍ (4) But today, even food and security is a privilege, so are housing, clothing, healthcare, and education. Indeed, we live in a crossroad of ideologies. This world — that's dying — has developed Capitalism to its finest. ...

Membedah Baqa' dalam Diri

Manusia fitrahnya memang dilengkapi dengan naluri-naluri ( gharaiz ( plural ), gharizah ( singular )). Yang pertama ada naluri ingin menyembah sesuatu ( gharizah tadayyun ), kemudian naluri ingin mencintai ( gharizah nau' ), dan terakhir naluri mempertahankan diri ( baqa' ). Bagi orang yang pernah membaca kitab ulama kontemporer, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani pasti aware  dengan naluri alamiah manusia ini. Mempunyai naluri itu tidak dosa, karena mau bagaimana lagi? Itu sudah karakter alami manusia. Jadi, pahala dan dosa hanya berlaku dalam konteks bagaimana cara manusia memuaskan naluri itu, dengan cara-cara yang halal kah atau haram? Sepertinya dalam analisis saya terhadap diri sendiri, naluri saya yang paling dominan adalah baqa' . Ego saya sangat keras dan tinggi, dan jika tidak didudukkan saya tahu saya sangat berpotensi membuat dosa karena hal itu suatu hari nanti. Kemudian akhir-akhir ini saya kembali berada di persimpangan jalan dimana gharizah baqa'  saya tersent...

MONOLOGUE DISCUSSION #1: Apakah Usulan Pelaksanaan Sistem Ekonomi Islam Intoleran?

  (video lebih lengkap ada di Instagram / Tiktok @kucingmasjid_) Rekan-rekan pasti pernah mendengar tentang sistem ekonomi Islam ya? Mungkin secara umum ataupun secara detail… Jadi, beberapa tahun terakhir ini saya mulai memiliki ketertarikan mempelajari sistem ekonomi Islam; membaca buku-buku ekonomi Islam, ikut webinar, atau bahkan diskusi dua arah dengan orang-orang yang lebih mafhum. Terbesit di dalam benak saya tuh… wah masya Allah ya sistem ekonomi Islam ini itu super daebak, wanbyokhae , ajib yang pasti bakal membawa maslahat kalau bisa direalisasikan. Tapi sembari itu, dalam benak saya perang pemikiran langsung was wus was wus , ibarat melakukan diskusi tapi ‘monolog’ dengan sudut hati saya yang ingin meng- counter attack ideasi pelaksanaan sistem ekonomi Islam itu sendiri di era yang katanya ‘modern’ ini, sambil juga otak saya mereka ulang opini banyak orang di sekitar saya yang merasa sistem ekonomi Islam tersebut terlalu utopis untuk saat ini. Namun, benarkah de...