Halo, assalamualaikum! Saya Mutia, 22 tahun (per-Agustus ini 22,5 tahun sih), a workforce... and an unmarried adult hehe. Ada diantara teman-teman pembaca yang sudah lulus kuliah, sedang bekerja, belum menikah, dan merasa kesepian? Absen dulu dong wkwk, biar saya ngga merasa sendirian 😌
Sampai di sini, saya paham mengapa banyak orang Jepang bunuh diri. Loneliness is real, you know. Ketika mereka sangat berpestasi dan ambisius memecahkan banyak tekanan, namun karena itulah mereka tidak ada waktu untuk menikah. Atau justru karena tekanan yang begitu besar itu, mereka jadi sadar diri bahwa urusan mereka dengan diri sendiri saja belum selesai... ehh mau membangun keluarga? Niscaya tidak akan keurus keluarganya itu. Inilah mengapa tingkat pernikahan di Jepang begitu rendah.
Maka, bisa dibilang bahwa tuntutan sosial-ekonomi yang sangat tidak ideal itulah yang menyebabkan mereka semakin kesepian.
Bila merasa sangat kesepian, tidak mengherankan bila mereka mengambil jalur cepat untuk mengakhiri hidup... Menabrakkan diri ke kereta, minum racun di dalam rumah, atau gantung diri di Gunung Fuji...
Iya, loneliness is real.
Bahkan dalam satu titik, kesendirian bisa membuat seseorang merasa tidak ada artinya dalam hidup...
Pernah ngga sih kalian merasa lelah? Atau bahkan sebaliknya, merasa bersemangat dan punya rencana atau visi-misi? Namun tidak ada orang yang mau -- atau layak -- diajak bercerita?
Saya yakin, saya bukan satu-satunya.
Mungkin di situlah letak sosok yang disebut sebagai 'pasangan'. Sebagaimana dalam hadits:
اَلدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Dunia itu kesenangan, dan sebaik-baik kesenangan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim)
Atau ayat yang terkenal itu, yang suka kita dengar kalau ada doa selepas salat:
“Dan orang orang yang berkata, “Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai qurrata a’yun (penyenang hati kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqan : 74)
Ulama menerangkan juga bahwa makna 'istri' di sini adalah 'pasangan'. Maka, itu juga berlaku bagi 'suami'.
Tapi tunggu... ternyata 'keturunan' pun bisa menjadi qurrata a'yun ya. Berarti sebenarnya 'orangtua' atau 'sesepuh' juga bisa membuat kita nyaman? Tapi, benarkah demikian wkwk? Kalau soal ini sih, saya tahu sebagian dari pembaca di sini memiliki orangtua yang sangat suportif menjadi tempat bercerita. Sementara sebagian yang lain memiliki orangtua yang justru menekan dan membuat anaknya malas bercerita.
Saya? Menurut saya, saya adalah tipe yang terakhir.
Mungkin itu juga alasan mengapa otak saya meng-gaslighting diri sendiri bahwa 'mungkin menikah lebih enak'. Saya ngga mencari romance per se, bahkan menurut saya, saya cukup anti-romantic. Ketika memikirkan calon pasangan, saya tidak ngurus apakah jantung saya berdegup kencang ketika melihatnya #eaak, atau jatuh cinta pada pandangan pertama.
Justru yang saya pikirkan adalah apakah ia se-visi dan se-misi dengan saya. Yang maksudnya adalah dalam hal apakah ia menjadikan Islam bukan hanya tuntunan spiritual saja... tapi tuntunan spiritual dan politis sekaligus (alias millah/jalan hidup).
Menjadikan Islam sebagai tuntunan spiritual sekaligus millah itu sesuatu yang BERAT, sungguh. Ketika kami menikah, lalu ingin memiliki rumah, ia harus sama seperti saya tidak mau kredit KPR di bank. Susah lo itu. Alhasil harus butuh ngontrak berapa lama dan nabung berapa lama untuk memiliki rumah? Yang lebih susah lagi tentunya menghadapi cibiran orang-orang terdekat, apalagi mertuanya (alias ibu istrinya ini) yang pasti kesal menantunya terlalu 'fanatik beragama' dan 'tidak siap menikah'.
Iya, seperti anaknya, yang 'fanatik beragama' ini.
Tentunya saya punya alasan. KPR di bank itu riba, riba itu dosa, dosa itu tidak berkah. Selesai. Begitulah penilaian sesuai standar Ilahi.
Kalau standar yang agak duniawinya sih begini: riba itu membuat utang berlipat ganda. Utang berlipat ganda itu bikin susah. Contoh, kamu ingin membeli rumah seharga Rp 500 juta, harus utang dulu ke bank. Jika ditotal-total, utang kamu itu bisa menjadi Rp 700-800 juta karena BUNGA. Atau jika KPR-nya 20 tahun-an, utang kamu bisa menjadi Rp 1 miliar atau lebih sedikit -- karena BUNGA.
Kalau merasa tidak keberatan dengan bunga, baik secara spiritual maupun realitas logikanya, monggo silakan saja.
Tapi kalau saya sih keberatan.
Dan saya harap suami saya (entah siapapun dia) juga akan keberatan dengan hal itu karena keimanannya.
Dan masih banyak lagi prinsip-prinsip Islam lainnya...
Visi-misi ini lo, yang saya bilang akan sangat melegakan jika kamu bisa bercerita dengan pasanganmu -- karena orang lain, termasuk orangtuamu tidak akan mau tahu wkwk.
Memang ini adalah sesuatu yang 'utopis' untuk dunia saat ini. Mengapa? Karena memang secara sistem tidak mendukung. Orang bilang (termasuk orangtua saya bilang), kenapa tidak bisa kamu kompromikan? Misalkan Islam dengan sistem ekonomi Kapitalisme ini?
Menurut saya, saya pakai analogi surah Ibrahim ayat 24-26 saja, tentang kalimat thayyibah atau kalimat yang baik (alias kalimat syahadat yang benar-benar dipraktekkan, bukan hanya spiritualitas bibir saja).
Islam itu seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya menjulang tinggi sampai ke langit. Pohon yang baik ini menghasilkan buah yang berlimpah dan enak.
Maka, misalkan kita mengobrol tentang sistem ekonomi Islam... kompromi antara prinsip-prinsip Islam (akar) dengan bisnis makelar, jual-beli yang ma'ruf, persyarikatan, dst. itu masih mengkompromikan akar, batang, ranting, daun, bunga, dan buah dari pohon yang baik ini.
Sementara mengkompromikan sistem ekonomi Islam dengan RIBA milik tetangga sebelah (alias sistem ekonomi Kapitalis), itu kaya kita membiarkan pohon subur itu ditumbuhi benalu dan parasit. Persis seperti surah Ibrahim ayat 26 tersebut, yang intinya pohon yang buruk itu dari akarnya sudah rusak.
Mau bagaimanapun juga sudah tidak tertolong, apalagi dikompromikan?
Saya merasa orangtua saya percaya terhadap ketetapan Allah ini -- insyaallah. Namun secara praktiknya... entah mungkin karena iba kepada saya dan tidak ingin anaknya hidup susah, atau memang karena tidak mau dipandang buruk oleh orang lain tak tahulah... saklek-nya saya terhadap prinsip-prinsip Islam adalah sesuatu yang sangat dipandang negatif.
Padahal sebenarnya saya tuh juga masih belajar (saya belum taat 100% juga tau...). Ini saja sudah banyak dipermasalahkan.
Yah, saya pun harap maklum sih. Memang pemikiran Islam di era ini adalah sesuatu yang anti-mainstream. Mungkin perasaan herannya sama seperti orang zaman Ottoman Islam dulu kalau melihat orang membawa pemikiran Sekuler. Anomali.
Maka... mau cerita ke siapa juga tidak ada yang sepakat. Meskipun bapak-ibu, sesepuh, dan kerabat-kerabat adalah qurrota a'yun.
Jika sudah seperti ini, mereka seperti orang asing. Berbicara dengan mereka seringkali berujung pemaksaan kehendak, baik kehendak mereka, maupun kehendak saya sendiri.
Di sinilah bisikan dedemit itu muncul wkwk... "Enak ya, kalau saja ada orang yang diajak bicara sambil nge-teh di pagi hari atau di penghujung malam."
Bicara kesulitan berkarya di kehidupan Sekuler-Kapitalis hari ini... Lalu mencari solusi Islam-nya bersama dan saling-menguatkan.
Bicara tentang kisah-kisah sirah atau tarikh dan mengambil hikmahnya.
Bicara juga tentang visi-misi ke depan yang sesuai millah.
Tahu tidak? Bicara yang seperti ini akan sangat sulit kepada orang-orang yang bahkan tidak merasa keburukan sistem hari ini sebagai sebuah masalah. Atau bahkan yang menganggap Sekuler-Kapitalisme adalah suatu tatanan hidup yang baik.
Di gelap malam inilah, perasaan-perasaan seperti kesepian itu didatangkan dedemit ke dalam benak saya...
Karena saya tidak punya suami.
Dan saya tidak siap harta untuk menikah.
Maka kesepian itu akan dengan pedihnya saya telan sendiri.
Dedemit memang!
Beberapa bulan terakhir ini saya seolah menjadi hikikomori. Mengambil suaka di balik pintu kamar yang tertutup, khawatir bertemu orang-orang terdekat.
Dahulu saya mempunyai komunitas yang sangat aktif membicarakan masalah dan mencari solusinya di dalam Islam. Sekarang juga masih ada sih, karena kan Islam dimana-mana ya, tidak masalah.
Hanya bedanya sekarang adalah saya harus 'berkompromi' dengan kondisi tidak ideal dan tuntutan orang-orang. Iya, orang-orang yang mengatai pemikiran Islam yang saya tekuni sebagai anti-mainstream itu... Karena enggan berkonflik, dan terlalu lelah lebih tepatnya, saya menjadi lebih suka menarik diri.
Hilanglah sosok-sosok qurrata a'yun itu, yang berbagi genetik-genetiknya dengan saya.
Dan inilah yang saya sebut sebagai saya pun masih belum taat 100%... sebab mana ada Muslim yang tidak care terhadap keluarganya kan? Wkwk, begitulah.
Dan lahirlah sosok-sosok 'bohongan' nan 'imajinatif' dalam bentuk what ifs: "Bagaimana kalau saya punya pasangan?"
"Bagaimana kalau saya punya pelindung yang bukan orangtua? Bukan sesepuh? Bukan kerabat sedarah?"
.
Mungkin perasaan ini dari dulu juga sudah ada ya... Tidak separah sekarang mungkin karena ada dua penyebab:
Pertama, saya belum lulus kuliah sehingga tekanan yang macam-macam cenderung lebih minim.
Kedua, saya sangat aktif dalam kegiatan ke-Islaman. Kalau saya tidak memikirkan kuliah, atau tidak memikirkan sebagian kerjaan rumah (karena WFH pandemi kan tidak nge-kos, tapi balik ke rumah bapak otomatis harus bantu-bantu juga), atau tidak memikirkan pekerjaan sampingan di lab... saya akan memikirkan lebih banyak lagi strategi-strategi dakwah... buku-buku apa yang harus dibaca untuk didiskusikan... kajian atau kursus apa yang harus diikuti... dan sebagainya.
Jadi ngga ada waktu untuk merasa "kesepian".
Aktivitas-aktivitas non-materialistik seperti tiga terakhir yang saya sebutkan itu, membuat hidup saya menjadi lebih bermakna.
Dan ini betul-betul riil, jika dibandingkan dengan menghabiskan hari untuk aktivitas materialistik saja. Yang ada malah saya selalu merasa ada yang belum komplit begitu... kaya... misalkan di awal atau akhir bulan. Selalu ada saja yang kurang, meskipun sudah gajian. Terutama seperti ini: sebenarnya secara materi saya ini mudah dipuaskan. Jadi saya bekerja atau berkuliah tinggi-tinggi itu pun sejujurnya untuk memuaskan orangtua saya -- yang ternyata juga tidak puas-puas hehe. Soalnya kalau diri sendiri tuh ekspektasi materinya yang penting cukup lah intinya.
Karena memang itulah sifat materi. Rasulullah pun bersabda dari banyak riwayat hadits yang intinya:
"Kalau manusia diberi dua lembah berisi emas dan harta, dia masih pingin lembah ketiga dan seterusnya."
Jadi harta itu memang semakin dicari semakin tidak puas.
Meskipun harta itu perlu.
Maka dari itu, saya berprinsip bahwa ketika saya harus mencari harta, saya harus mencarinya dengan yang sesuai standar Islam.
Jika keluarga saya meminta untuk saya bekerja di perusahaan top macam SCBD itu, dengan gaji bagi freshgraduate saja bisa mencapai 8-10 juta rupiah per bulan... tentunya saya suka yaa dengan uang yang banyak 😅 Tapi apakah itu worth my sacrifice?
Misal ketika saya harus kerja lapangan, mengawasi proyek dengan naik mobil rekan kerja saya yang laki-laki, lalu saya tidak diperkenankan berangkat sendiri (yang berarti sudah jelas resiko khalwat).
-- yang seperti ini kan baru viral dan dipermasalahkan ketika ada tragedi 'staycation sama bos' itu to, padahal sebenarnya dalam Islam juga sudah diatur.
Atau opsi lainnya boleh sih saya berangkat sendiri, tapi ternyata proyeknya ada di kota lain yang sangat jauh. Apakah worth it bagi saya untuk mengejar rasa lelah itu? Untuk gaji 5 juta lebih tinggi daripada gaji saya saat ini?
Semua orang bilang prinsip 'fanatik' Islam saya yang 'kaku' itulah yang membuat saya membatasi diri.
Dalam hati saya menjawab: yaa, begitulah adanya.
Tidak perlu mempermasalahkan Islam-nya. Memang pada dasarnya orang harus membuat batasan untuk mencapai tujuannya. Apa yang ia mulai, itulah yang ia tuai.
Jika kamu memulai berkarya dengan jalur yang seperti itu, tentunya akan cepat kamu melejit dan besar. Untuk saat ini. Karena itulah yang memang di-support oleh sistem Sekuler-Kapitalis saat ini. Kalau kamu menganggap bahwa hidup itu 'yang penting berbuat baik', mungkin pekerjaan seperti ini ideal untukmu.
Namun jika kamu ingin besar, perlahan tapi pasti, dengan Islam... Dan menganggap standar kebaikan adalah yang sudah detail diatur oleh Ilahi... Maka mulailah dengan pilihan-pilihan yang mengarahkanmu ke sana. Misalnya, tidak bekerja pada perusahaan yang jauh dari prinsip Islam, dll... Lebih berat memang. Lebih merasa lonely, karena tidak ada orang yang mendukungmu, apalagi mengelu-elukanmu.
(Lagipula memang tidak perlu dielu-elukan).
Membangun rumah tangga juga seperti itu.
Itu preferensimu jika kamu ingin bekerja dengan gaji yang begitu besar sembari menikah. Agar kamu memiliki independensi finansial dari suamimu.
Tapi saya tidak ingin independen secara finansial dari suami saya 😐 Saya ingin agar saya makan, berpakaian, berteduh, dan membesarkan anak-anak di bawah nafkah berkahnya. Sementara saya pun tetap ingin berkarya sebagai seorang pengusaha syariah. BUKAN untuk independensi finansial, BUKAN juga untuk membuktikan kesetaraan perempuan (karena saya tak perlu dianggap yang semacam-semacam itu)... tapi untuk memberikan motivasi kepada anak-anak kami dan semua orang, bahwa ekonomi Islam dan sistem Islam ini sangat layak diperjuangkan.
Visi dan misi inilah yang menurut keluarga saya sangat utopis.
Saya pun mengakui bahwa ini adalah sesuatu yang sangat utopis. Karena kesadaran itulah, saya menyadari bahwa angka 24 tahun yang sebelumnya saya targetkan untuk menikah, ternyata harus mundur ke angka xx tahun -- atau tidak tahu kapan.
Sekali lagi, karena saya tidak siap secara harta. Dan saya tidak bisa mengandalkan orangtua saya untuk memberi saya harta, baik karena mereka enggan maupun memang tidak punya.
(Sebab kebayang ya, untuk resepsi saja bisa habis berapa -- untuk memuaskan mereka).
Dan karena kehidupan di mana harga rumah murah, lapangan kerja layak sangat luas, pendidikan anak-anak memiliki kualitas terbaik dan gratis, serta biaya kesehatan dan keamanan yang ditanggung adalah mimpi siang bolong di sistem hari ini...
maka, harta yang tadi saya kucilkan sebagai sesuatu materialistis, kini menjadi sesuatu yang amat krusial untuk mendukung cita-cita sederhana saya agar bisa ber-Islam secara lebih baik.
Ah, betapa melegakannya jika kita bisa menceritakan keluh-kesah ini kepada pasangan kita di antara uap teh hangat malam hari.
Omong-omong tentang ini, kalian tahu tidak sih filosofi batasan aurat Muslimah?
Semoga bahasan ini tidak terlalu vulgar ya... aslinya saya ingin membuat diagram ala stickman gitu, tapi daripada tulisan ini tidak selesai-selesai, saya jabarkan dengan tulisan saja wkwk.
1. Di tempat umum
Seorang perempuan wajib mengenakan jilbab (sejenis long dress gitu) dan khimar (alias kerudung), yang di dalamnya ada mihnah (alias pakaian rumah). Jadi penggunaannya di-double.
Btw, dalilnya kita bahas kapan-kapan. Insyaallah.
2. Di rumah, tapi ada yang bukan mahram
Mahram adalah anggota keluarga yang mana tidak boleh kita nikahi. Yang bukan mahram berarti bisa orang asing, ataupun anggota keluarga yang halal dinikahi misalkan sepupu, dll. Itu ngga harus menggunakan jilbab, tapi tetap harus pakaian longgar dan menutup ditambah khimar.
3. Di rumah, hanya ada mahram
Di sini perempuan boleh menggunakan mihnah saja. Pakaian rumah yang dimaksud ini tetap menutupi anggota-anggota tubuh yang 'agak senonoh', tahu lah ya... Contohnya, pakaian yang digunakan untuk bertemu ayah, ibu, kakak, adik, anak, dan sebagainya... Ngga mungkin kan bertemu mereka dengan hot pants, apalagi bikini? Tentunya malu sekali.
4. Yang terakhir, bersama suami saja. Tidak ada batasan aurat, as you know it.
Batasan aurat ini berlaku tidak hanya untuk perempuan, namun juga laki-laki -- tentu dengan ketentuan yang detail juga sesuai Islam (silakan teman-teman cari sendiri). Namun yang terakhir itu tetap sama, tidak ada batasan aurat diantara pasangan.
Tahu tidak sih filosofinya apa?
Mereka adalah analogi tempat menyimpan 'rahasia'.
Satu, tidak boleh menyampaikan rahasia penting di ruang publik.
Dua, boleh menyampaikan SEDIKIT rahasia (bukan penting) kepada orang-orang yang bukan mahram-mu jika memang mereka datang ke perimetermu. Jadi anggap saja hanya casual talk begitu sama mereka ini, bukan deep-talk.
Tiga, boleh menyampaikan SEBAGIAN rahasia penting kepada mahram-mu.
Yang terakhir, bersama pasanganmu itu seperti tidak ada rahasia.
Allah memang menciptakan semua orang memiliki posisi dan perannya masing-masing. Oleh karena itulah, saya maklum ketika dalam tingkatan tertentu, orangtua saya tidak bisa memahami saya.
Itulah mengapa ada kelebihan bagi pasangan yang sudah ditetapkan oleh Allah.
Maka, dalam hal ini... Kembali kepada masyarakat Jepang, tidak heran apabila mereka merasa lonely dan tidak mempunyai makna dalam kehidupan. Karena sepanjang hidup mereka akan terus menahan rahasia-rahasia itu...
Oh iya, lupa. Hehe. Mutia juga sendirian saja ya?
Ya sudah, tahan dan bersabar dulu ya terhadap kesendirianmu... Tidak lama kok. Toh tidak seumur hidup juga kan seperti masyarakat Jepang. Dan kamu insyaallah kuat, tidak gampang terpikir bunuh diri juga seperti orang-orang Jepang tersebut.
Cita-cita sederhana untuk menjadi bahagia pada hari ini ternyata adalah sesuatu yang sangat mahal untuk diraih ya?
Tapi kan jalan yang harus ditempuh ini adalah jalan Allah. Kenapa harus tidak yakin? Hehe.
Semangat dong~
Semangat.
Pasti ada jalan.
.
Planet Bumi, 7 Agustus 2023
kucingmasjid_
Serius ini tulisan yang bagus. Oh iya semoga Allah mudahkan urusannya :)
BalasHapus