Di malam yang sudah mulai terserang kantuk ini, hati mendadak ingin sekali merenungkan satu ayat yang arif di kalangan banyak orang.
Ayat yang saya maksud adalah ayat terakhir surah al-Baqarah, yang di dalamnya mengandung jumlah: "laa yukallifullahu nafsan illa wus'aha".
Maknanya adalah, "Allah tidak membebani seseorang KECUALI sesuai kemampuannya".
Manusia itu menarik.
Semakin banyak saya bertemu manusia, semakin banyak saya melihat harapan dan gagasan di mata mereka. Juga beban di bahu mereka.
Setiap dari manusia adalah entitas unik, perpaduan dari dosa dan pahala yang saling berperang.
Di tengah peperangan dosa dan pahala itu, Allah menitipkan bagi setiap mereka akal untuk membedakan baik dan buruk, serta kapasitas untuk menjadi bekal melanjutkan hidup.
Kapasitas itu berbeda-beda. Itulah mengapa ujian hidup setiap manusia juga berbeda... Sebagaimana tertuang dalam ayat tadi.
Di titik ini saya semakin yakin ketika mendengar nasehat para ulama bahwa "Allah hanya menilai manusia dari ketakwaannya". Takwa... Hal yang tak kasat mata...
Bukan hal yang kasat mata seperti halnya nilai-nilai materil. Yakni kapasitas yang telah Ia titipkan kepada setiap manusia itu.
Allah tidak menilai manusia dari jenjang pendidikan formalnya, dari jabatannya di tempat kerja, dari latar belakang keturunannya, atau mungkin dari banyaknya harta yang telah ia kumpulkan...
Pada dasarnya, semua kapasitas itu hanyalah ALAT bagi TUJUAN ketakwaan itu sendiri. Maka, yang Allah nilai adalah bagaimana setiap manusia memanfaatkan kapasitas yang ia punya untuk tunduk, patuh memenuhi segala aturan wahyu-Nya: spiritual maupun non-spiritual.
Maka, ketika saya membaca kitab Nizhamul Islam tulisan seorang syaikh dari Palestina, saya betul-betul merasa tercerahkan dalam hidup ini. Beliau menulis pada bab pertama kitab tersebut,
"Yanhadhul insanu bi maa indahu min fikrih..."
Maknanya, "Kebangkitan manusia terletak dari dalam pemikirannya (yakni pemahamannya terhadap Islam)".
Mengapa Islam? Karena hanya Islam lah agama sekaligus ideologi yang tidak malu memberikan batasan jelas antara haq (kebenaran) dan batil di dunia ini.
Maka, saya agak tidak setuju jika manusia menilai manusia lain semata dari tingkat pendidikan formalnya, garis keturunannya, hartanya, dan nilai-nilai materil sejenisnya sebagaimana standar Kapitalisme.
Allah Maha Adil. Allah tidak salah ketika memberikan kesempatan kepada seseorang untuk mencapai gelar S3, sementara di sisi lain ada orang diberikan kesempatan untuk tamat SD saja.
Yang lulusan SD itu, bukan berarti ia menjadi bodoh dan terhinakan. Yang lulusan S3 pun tidak serta-merta menjadi lebih cerdas.
Manusia tidak seharusnya dinilai dari itu.
Tapi dari seberapa kuatnya ia berusaha melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Yang berarti sebagai sesama manusia, kita tidak tahu berapa banyaknya orang lain dalam bertakwa.
Yang berarti kita tidak boleh menge-judge orang lain...
kecuali jika kemaksiatan yang ia lakukan sudah menjadi terang-terangan.
Maka, berusaha menenangkan dan melembutkan hati untuk banyak memahami orang lain adalah kebaikan diri yang harus dipupuk... meskipun sulit.
.
Saya diberi Allah kesempatan untuk bisa lulus S1. Moga-moga Allah bisa memberi saya kesempatan untuk menilik jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi.
Satu hal yang selalu saya nasehatkan kepada diri sendiri adalah jangan menjadi sombong dan jumawa terhadap orang yang mungkin tidak Allah kasih kesempatan yang sama.
Mengapa?
Karena sekalinya manusia jumawa, ia akan sulit memperoleh ilmu. Dan padahal, pada orang-orang yang mengenyam pendidikan formal lebih rendah itu pun ada ilmu juga yang harus kita pelajari sebagai ibrah.
Saya selalu menggigit lidah dari mengatakan - ketika seseorang berperilaku buruk - "Ah, itu pasti karena tingkat pendidikan (formal)-nya!"
Akhlak, menurut kitab Nizhamul Islam tersebut pada bab terakhirnya, juga merupakan buah dari pemikiran yang yakin dalam menerapkan syariat Islam.
Ketika kita santun dan berusaha memahami rekan kerja, semata-mata karena perintah Allah untuk berbuat baik kepada manusia. Atau itsar (mendahulukan orang lain). Dan sebagainya.
Di sisi lain, ketika kita zalim dan sewenang-wenang terhadap rekan kerja, pastinya itu juga sudah melanggar syariat Allah.
Jadi ya itu, kuncinya ada pada pemikiran ketakwaan terhadap Allah... Bukan semata tingkat pendidikan formilnya.
Maka, tak heran jika ada orang yang tingkat pendidikan formilnya tinggi, tapi malah menindas orang lain... Misal dengan mengkorupsi uang perusahaan, melecehkan bawahan seperti kasus di salah satu kementerian yang terkenal itu, dan lain-lain.
Dan maka juga, yang kedua, kita tidak bisa asal menge-judge orang tersebut, karena kita tidak akan pernah tahu tingkat ketakwaannya di hadapan Allah. Itu hanya Allah saja yang tahu... Kecuali yang memang sudah dzahir (kasat mata) seperti kasus-kasus tadi.
Maka yang terakhir, sebagaimana manusia selalu berperang antara dosa dan pahalanya di dalam diri, melembutkan hati guna menerima kesalahan orang juga menjadi skill yang sangat berharga untuk dimiliki. "Mungkin kali ini dia khilaf". Jika kesalahannya bukan maksiat besar yang harus mendapatkan hukuman... Maka maafkan dan rangkul mereka untuk berjalan bersama-sama di jalan takwa. Terutama jika mereka juga sama-sama perempuannya seperti kita.
Karena katanya, manusia adalah Khalifah fil ardh kan?
Wallahu a'lam bis shawab.
.
Bumi, 19 November 2023

Komentar
Posting Komentar