"Wanita berpendidikan tinggi memilih untuk childfree", demikianlah intisari berbagai headline postingan medsos, mengutip pernyataan seorang pejabat perempuan dari Komnas Perempuan.
Sebagai perempuan yang - alhamdulillah - mendapatkan privilege untuk mengenyam pendidikan tinggi, setelah membaca kalimat tersebut otak saya langsung berseru:"Masyarakat kita sudah gila!"
Bukan, bukan untuk menyalahkan keputusan para saudari saya... Meskipun yah, bisa dibilang tidak sepakat juga ya. Namun, lebih ke arah mempertanyakan: kondisi kehidupan seperti apa yang menyebabkan para perempuan enggan memiliki anak.
Baik, akan saya jelaskan dari sudut pandang saya sebagai perempuan yang berada di dalam demografi [perempuan, pendidikan tinggi] tersebut.
.
Saya berada di usia dua puluhan dengan latar belakang keluarga kelas menengah rentan miskin. Dalam artian, jika sedikit saja perhitungan keuangan keluarga meleset, harus ada suatu barang yang dijual agar kami tidak perlu berutang untuk hidup sehari-hari. (Tapi ini definisi yang saya buat sendiri wkwk, aslinya kelas menengah rentan miskin itu benar-benar tidak ada aset yang bisa dijual... Tapi emang definisi yang ditetapkan pemerintah itu suka aneh 🤔 Standar kemiskinan aja jika pengeluaran di bawah 16.000 sehari. Eh, pengeluaran di bawah 50.000 sehari itu sebenarnya masih tanda-tanda orang susah ya!)
Ketika saya masih muda, kondisi keuangan keluarga tidak separah itu. Untuk meningkatkan skill, orangtua saya memasukkan saya ke kursus sempoa, bahkan kursus menggambar di dua tempat berbeda. Bukan hanya itu, lagi-lagi dalam rangka meningkatkan skill, alat gambar termahal seperti Carandache pun difasilitasi, ditambah mobilitas menggunakan mobil agar saya tidak mudah sakit karena terlalu kepanasan atau kehujanan. Tapi itu karena saya selalu sekolah negeri yang pengembangan dirinya kurang difasilitasi intra-sekolah.
Sementara itu, adik saya disekolahkan di sekolah swasta yang fasilitasnya sudah cukup lengkap untuk mengembangkan diri. Mungkin tambahannya hanya kursus yang sederhana saja seperti berenang, matematika (sudah tidak lagi), dan baru-baru ini, bulutangkis. Fasilitas ekstra-sekolahnya tidak sebanyak saya karena intra-sekolahnya sudah cukup baik untuk skill developing. Tapi ya itu, SPP-nya lumayan.
Dengan fasilitas yang pernah saya dapatkan tersebut, tentunya saya juga ingin anak saya mendapatkan privilege yang sama. Betul kan, para puan?
... Tapi coba kita hitung-hitungan di bawah ini:
1. Dengan asumsi saya memiliki 3 anak saja (iya jumlah ini preferensi masing-masing ya, tapi asumsi saya 3 😅), saya ingin menyekolahkan mereka di sekolah Islam yang SPP-nya 1.300.000 / bulan. (Iya, saya sudah riset di sekolah terkait 🌝, tidak perlu disebutkan namanya yaa). Untuk 3 anak berarti 3.900.000 / bulan.
Apabila saya (masih) bekerja dengan gaji UMR, maka SPP anak tersebut alhamdulillah bisa ter-cover secara aman, mungkin sudah sekalian biaya tugas dan uang saku.
Diasumsikan bahwa sekolah Islam yang cukup bagus ini sudah termasuk skill-development. Semoga saja, sehingga anak-anak tidak perlu les lagi di luar hehehe.
2. Bagaimana dengan suami saya? Berarti ia harus bisa meng-cover kebutuhan pendidikan di luar yang tertulis di poin 1 tadi... Mungkin, anak butuh gadget untuk mendukung pengembangan dirinya, atau alat-alat lainnya yang mahal dan tidak bisa mereka beli dari tabungan uang sakunya 👀 Motor, kalau mereka beranjak dewasa?
Juga biaya kesehatan tak terduga (karena yang terduga bisa diambil dari hak atas "palakan" BPJS 😌 BPJS wajib kan, eh?).
Pajak-pajak pungutan negara... Pajak kendaraan bermotor, misal? Pajak rumah (itupun jika punya rumah, heyy!)
Operasional rumah tangga? Bensin, air, air minum, listrik, gas, internet...?
Eh, ada yang lupa! Makan sehari-hari, cuy! Di dalam rumah dengan anggota 5 orang, berapa ya kebutuhan makannya sehari?
Ayam 1kg + bumbu-bumbu anggap saja 60.000. Bayangkan itu ayam 1kg dipotong 15 (untuk makan 3x sehari), udah kaya warteg. Tapi gapapa lah bersyukur, masih bisa makan ayam 😌... Beras sekitar 1kg / hari = 18.000. Yah... Anggap saja sayur, sambal, dan 1 blok tempe = 22.000... TOTAL = 100.000 / hari.
Sebulan maka x30 hari = 3.000.000! 3 juta untuk makan doang!
Makan di rumah.
Engga jajan di restoran 🫠
... Mohon bapak-bapak, bayangkan saja dulu. Kalau gaji UMR juga, sanggup kah?
Belum kalau adaaa aja yang rusak... Motor mogok? Kran bocor harus diganti baru? Lemari dimakan rayap, harus beli lagi? Sepatu anakmu jebol, Pak!!!
3. Tadi kita juga belum ngobrolin yang terpenting ya, para puan: tempat bernaung kita. Rumah.
Rumah ibu dan bapak saya di kampung tidak besar. Luas tanahnya hanya 7x12 meter alias 84m2. Tapi karena tinggal di perumahan, rumahnya jadi bisa di-full kan, dan dibuat dua tingkat.
Saya selalu menganggap rumah orangtua saya itu kecil, tapi Ya Allah! Ternyata di Jakarta, rumah seperti itu bisa miliaran!
Gendeng ta?
Lalu, Pak... Kalau anakmu 3, motormu juga harus 3. Insyaallah di awal menikah kita sudah punya 2 (karena kita, puan punya 1 motor dan dia punya 1 motor juga), alhamdulillah ya? Tapi itu berarti kita harus beli 1 motor lagi kalau anak pertama kita sudah SMA. Adiknya juga udah besar, ga mungkin bonceng tiga, bisa ditilang polisi nanti!
Ini adalah bare minimum yaa... Semoga saja bisa punya mobil LCGC, second yang 100jutaan juga tidak apa-apa, agar jika berpergian pas hujan anak-anak tidak basah kuyup.
Oke, semua orang punya preferensinya masing-masing, ada yang merasa cukup tinggal di rumah mertua selamanya. Atau mengontrak... Atau tidak punya kendaraan dan kemana-mana harus naik angkutan umum...
Tapi saya tidak begitu. Keluarga saya harus punya rumah, kendaraan, dan fasilitas belajar serta nutrisi yang cukup!
Dan saya yakin, sebagian besar perempuan juga menginginkan hal sama, betul?
Bayangkan, betapa tidak gila perempuan tiga anak ini?
Baiklah, jika kebanyakan, berarti dua anak?
Jika 2 anak berarti kebutuhan pendidikan bulanan berkurang menjadi 3.500.000. Uang makan juga mungkin berkurang jadi 2.400.000. Kalau orangtuanya sama-sama UMR, itu juga udah mepeeet yah? Saudariku?
Kira-kira harus menabung berapa tahun untuk kebeli rumah dan mobil?
Jika dikurangi jadi 1 anak saja, wah, berkurangnya juga lumayan sih... Tapi tetep aja gila, gila untuk bisa mendapatkan rumah, minimum!
Bapak-bapak, ibu-ibu, sudah dapat kerja sampingan apa nih? Wah... Rupa-rupanya satu kerjaan utama aja ga cukup ya?!
.
Saya tidak malu menunjukkan hitung-hitungan ini di hadapan umum. Semua orang bilang uang itu sensitif... Ohya betul, but I'm desperate!
All of us are desperate!!!
Saya ingin menunjukkan bahwa masyarakat sudah gila! Kami gila karena kehidupan ini mencekik!
Saking gilanya kami, banyak di antara kami yang merasa tidak mampu memiliki anak! Jangankan memiliki anak, memenuhi kebutuhan diri saja susah!
Childfree? Orang aja bahkan gamau menikah! Jatuh cinta adalah privilege terbesar di abad ini!
Tapi herannya, pemerintah membuat narasi seolah-olah banyak orang memutuskan childfree adalah sebuah pencapaian tertinggi! Padahal itu sebenarnya simbol dari ketidakbecusan para pemegang kekuasaan memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyatnya, yang padahal itu adalah untuk kemajuan dan perkembangan negerinya sendiri!
Coba ya, kawan-kawan, kita hitung ulang baik-baik...
Jika saja pemerintah memenuhi kebutuhan pendidikan anak... Ketiga anak itu... Maka gaji saya hanya terpakai untuk uang saku anak-anak? 👀 Betul kan? Kalau SPP-nya gratis? Ini jika sekolah negeri kualitasnya bagus, belajar agamanya lengkap, belajar keilmuannya juga difasilitasi... Ada kegiatan ekstrakurikulernya juga yang kualitasnya sebagus kalau les di luar 😆 Waaah... Senang sekali bukan?
Jika saja pemerintah betulan memberi fasilitas kesehatan terbaik secara gratis, ngga mungkin kan kita bingung kalau waktu berobat harus nebus obat seharga setengah juta yang ga di-cover BPJS? (Pengalaman pribadi orang terdekat wkwk 🫠)
Bapak-bapak, bingung yaa mau beli rumah buat keluarganya? Ya iyalah, soalnya sekarang sektor properti kita sedang menggelembung, Pak. Para investor sedang besar kepala, mentang-mentang pada butuh, harganya ditinggiin. Awas aja kalo mbledhos kaya di Jepang sama Cina itu!
Tapi ya para pengembang itu, mereka juga kasihan sih Pak hehe... Di tahap awal proyek aja mereka harus bayar dulu sana-sini ke pejabat setempat. Belum lagi harga material juga pada kena pajak yang lagi-lagi naik 🙈
Kalau saja gaji pun jauh di atas UMR ya, Pak, Bu... Tapi tahu ngga sih, yang lulusan sarjana saja di luar sana banyak yang gajinya di bawah UMR... Padahal UMR saja sudah ngoyo setengah mati 😥
Pak, Bu? Takut juga ya ga punya waktu untuk anak dan keluarga karena sibuk kerja? Kerja berangkat pagi pulang magrib saja gaji masih UMR, dan karena kurang harus mengambil kerja sampingan juga...
Ah, betapa kasihannya keluarga kecil kita! Sudah materi tidak mencukupi, psikologis juga tidak terpenuhi!
Dari hulu ke hilir kita semua gila!
Gila!!!
Makanya masyarakat yang gila dan brutal ini melampiaskannya lewat pinjol, judol, childfree, dan bahkan membunuh pasangannya sendiri. Atau memilih tidak menikah, tapi zina dimana-mana!
Karena capek, hidup di zaman sekarang itu capek! Orang-orang pada #unalive karena buat apa hidup lagi?
Jatuh cinta gaboleh, punya anak gaboleh, hidup gaada gairah... Semua orang ngambil jalur self-destruction! Mendingan mati aja!
Mungkin, daripada melihat masyarakat yang bahagia dengan generasi penerusnya yang bisa membangun negeri ini... Para pemegang kekuasaan itu lebih suka melihat rakyatnya bunuh diri satu-satu.
Semoga bukan anggota keluarga mereka yang ikut-ikutan bunuh diri ya... 👀
Tolong para pemegang kekuasaan ini berkaca, itu sumber daya alam punya rakyat, kenapa keuntungannya lebih banyak ngalir ke kantong swasta, asing lagi?!
Alhasil pas kas negara kosong, bingung!!!
Utang!!!
Kena debt trap!
Ancur!
Ngomongnya pembangunan... Tapi ternyata kong-kalikong.
Semua harga naik.
Pungutannya digedein!
Ah elah.
Yang terakhir, tolong kepada masyarakat yang bilang alasan haram childfree adalah karena di masa tua takut kesepian ga punya anak... Eh, tujuan punya anak itu bukan untuk balas budi ya!
Tujuan kita punya anak itu untuk menjadi khalifah di muka bumi: penerus kebaikan. Orang-orang yang di masa depan bisa mengelola bumi Allah ini dengan aturan-Nya yang rahmatan lil 'alamin. Bukan semata buat ngerawat elu kalo udah tua! Andaikan bisa ngerawat elu, itu bonus, yang nomor 1-nya dia harus bisa menjadi khalifah di muka bumi. Titik.
Lagian, lebih parah mana tingkat pertanggungjawaban keharamannya: itu, atau pemimpin yang korup?
Fokuslah pada akar masalah, saudara-saudara!!! Siapa penyebab masalah utamanya???
.
Sekian marah-marahnya.
Planet Bumi,
26 Nov 2024 (semalam sebelum Pilkada)


Komentar
Posting Komentar